Thursday, January 28, 2010

Hukum Positif dan Kasus Pembobolan ATM BCA (catatan teman)


Maraknya pembobolan rekening melalui ATM akhir-akhir ini, membuktikan bahwa penjahat-penjahat Indonesia sekarang bukan lagi penjahat kelas jalanan. Bersaing ketat dengan kejahatan korupsi yang hampir pasti dilakukan oleh para intelektual: pejabat, anggota DPR, polisi, jaksa, hakim, pengusaha dll yang pada umumnya berpendidikan. Kemungkinan mereka sekedar pendidikan Sekolah Menengah saja, tidak bergelar
pendidikan apa-apa. Namun kepenitarannya menyalagunakan teknologi digital begitu mapan, saya tidak mampu untuk membayangkan bagaimana teknik mereka membobol rekening yang katanya sudah terjamin keamanannya tersebut.

Persoalannya bukan sekedar bagaimana cara mengungkap kejahatan tersebut beserta modus operandinya secara tuntuas untuk kemudian digunakan untuk menciptakan sarana dan teknologi untuk menangkalnya. Namun juga bajingan-bajingan pembobol tersebut mau didakwa dan diadili dan dipidana dengan UU (pidana) yang mana? Cukupkah hukum pidana
konvensional misalnya pencurian atau yang lebih maju misalnya UU ITE digunakan untuk menangani (refresif) terhadap para bajingan tersebut?

Apabila kita melihat dari sudut, adanya perbuatan mengambil uang dari mesin ATM, kok kayaknya pencurian (Pasal 362 KUHP atau lebih spesipik (lex specilisnya) : Pasal 363 KUHP khusunya ayat (1) angka 5? Namun secara juridis tepatkah? Saya akan mencoba menganilisnya seperti di bawah ini.

Bentuk standar pencurian Pasal 362, yang harus dipenuhi terlebih dulu untuk menyatakan dan menerapkan Pasal 363 Ayat (1) angka 5 (diberi kualifikasi sebagai pencurian dengan merusak). Menurut Pasal 362 pengertian yuridis pencurrian adalah perbuatan “mengambil suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, …”

Tidak ada sesuatu masalah norma Pasal 362 jika dicocokkan dengan pembobolan rekening di mesin ATM tersebut. Benar-benar pas bin cocok alias sesuai benar. Persolan kecil yg perlu diberikan analisis, ialah tentang perbuatan mengambil. Benarkah pada peristiwa tersebut terdapat perbuatan mengambil? Apa artinya mengambil? Saya memberikan batasan mengambil, yakni “melakukan suatu perbuatan tertentu dengan bentuk dan cara apapun terhadap suatu benda (sebagian atau seluruhnya milik orang
lain) yang berakibat beralihnya kekuasaan benda tersebut ke dalam kekuasaan si pelaku”.

Dari batasan perbuatan mengambil seperti itu, maka untuk dapat dibuktikan adanya perbuatan mengambil yang dimaksud Pasal 362 KUHP tersebut, adalah:

1. Sebelum melakukan wujud perbuatan itu, benda objek pencurian belum/tidak berada di dalam kekuasaan orang yang mengambil/pencuri.
2. Dengan wujud dan perbuatan tertentu yang ditujukan pada benda objek pencurian, berakibat benda itu berpindah kekuasaannya ke dalam kekuasaan si pengambil/pencuri.

Dengan batasan perbuatan mengambil seperti itu, kayak-kayaknya pencurian itu merupakan delik materiil ya? Benar tapi tidak murni. Suatu delik yang dirumuskan secara formil, namun untuk terjadinya/selesainya secara sempurna (voltooid) disyaratkan beralihnya kekuasaan benda ke tangan orang yang mengambil atau si
pencuri. Unsur akibat tidak dicantumkan secara formal ke dalam rumusan delik, namun harus ada sebagai syarat selesainya pencurian, unsur akibat mana terdapat secara terselubung di dalam perbuatan mengambil. Untuk terdatnya secara sempurna (voltooid) perbuatan mengambil – harus telah beralihnya kekuasaan benda objek pencurian ke dalam kekuasaan si pelaku. Sama halnya dengan perbuatan merusak, menghancurkan, membunuh (Pasal 406) menghilangkan nyawa (Pasal 338), dan masih buaaanyak lagi.

Dengan demikian, maka bagaimana caranya dan wujud perbuatan mengambil tidaklah menjadi persoalan, yang penting dari perbuatan yang entah bagaimana cara dan wujudnya tersebut benda objek yang diambil beralih kekuasaannya ke dalam kekuasaan si pencuri. Dengan penjelasan tersebut, perbuatan mengambil tidak ada persoalan lagi. Cocok benar dengan peristiwa pembobolan rekening tersebut. Demikian juga
unsur-unsur yang lain tidak ada masalah lagi. Cocok, pas bin genah sdh memenuhi unsur-unsur delik pencurian.

Saya membaca di koran maupun di situs internet, polisi akan membidik dengan pencurian yang diperberat yakni Pasal 363. Meski-pun tidak diterangkan secara spesifik, tapi saya dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud pastilah Ayat (1) angka 5, karena rumusan disanalah yang paling dekat dari pada bentuk-bentuk lainnya dalam Pasal 363 tersebut.

Pasal 363 Ayat (1) angka 5 merumuskan “pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil. Dilakukan dengan merusak, memotong, atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu”.

Waduh, kok jauh ya – sungguh besar hambatannya untuk menerapkan Ayat (1) angka 5 tersebut. Hambatannya adalah dari isi-pengertian unsur “… untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan” atau “untuk sampai pada barang yang diambil” …. kiranya disinilah masalahnya. Mengapa??.

Unsur “untuk masuk ketempat melakukan kejahatan”, jelaslah menunjukkan bahwa objek barang yang dicuri harus berada di dalam sebuah ruangan, misalnya rumah, kamar atau gudang dsb. Pengertian seperti ini klop benar dengan unsur berikutnya (caranya untuk masuk) terutama dengan memakai anak kunci palsu. Dengan demikian, dapat dipastikan unsur ini tidak mungkin dapat dipenuhi, karena untuk sampai pada objek benda
yang dicuri, si pelaku tidak masuk ke dalam suatu ruangan. Kecuali jika mesin ATM tersebut ada di dalam gedung atau ruangan, yang untuk sampai pada ruangan itu si pencuri merusak pintunya atau membuka pintunya dengan anak kunci palsu. Kasusnya tidak demikian, ya kan???
Mesin ATM diletakkan di arela terbuka umumnya di tempat umum, bahkan adakalanya dipinggir jalan raya yang mudah dijangkau umum.

Bagaimana dengan unsur alternatifnya yakni untuk sampai pada barang yang diambil (bukan masuk ya) dengan cara merusak, memotong dsb. Inipun sulit, karena untuk sampai pada mesin ATM si pelaku tidak melakukan upaya merusak, memotong, memanjat dan sebagainya.

KESIMPULAN: Pasal 363 KUHP tidak bisa diterapkan. Oleh karena itu kami – rakyat yang mendambakan tegaknya hukum yang benar (kepastian hukum), kami berteriak keras: Haaaaai Pak polisi-2, pak jaksa-jaksa dan pak hakim-2 yang kami hormati. Tolong terapkan hukum yang benar, jangan ngawur dan untuk mencari popularitas dengan pokoknya di hukum berat. Sikap yang demikianlah yang merusak sistem dan tatanan hukum pidana kita selama ini. PRAKTIK YANG MERUSAK, DENGAN MENAFSIRKAN ASAL MAU
GUE. Itulah yang disebut dengan interpretatio est perversio. Mau sampeyan di cap penegak hukum yang paling ngawur, tukang tafsir est perversio???? Kalau begitu, apa bedanya anda dengan dukun ramal yang duduk dipinggir jalan mencari mangsa dengan komat-kamit seolah-olah berbicara dengan para jin dan dedemit untuk mendapatkan petunjuk tentang nasib orang-orang yang tanpa iman?.

Sekarang, bagaimana dengan UU ITE. Delik yang mana kiranya yang diprediksi dekat dengan kasus pembobolan rekening di mesin ATM tersebut. Terdapat 19 bentuk tindak pidana dalam Pasal 27 sampai 37 UU ITE. Diantara 19 macam tindak pidana ITE tersebut, kiranya yang dekat dengan peristiwa pembobolan rekening di ATM tersebut yakni:

1. Pasal 30 Ayat (3) jo 36 jo 46 Ayat (3):
Pasal 30 Ayat (3) jo 36 merumuskan: “…dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui atau menjebol sistem pengamanan, yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”.

Saya kira perbuatan apa wujud dan caranya yang belum diketahui yang dilakukan pembobol tersebut dapat dikualifikasikan (disamakan) dengan perbuatan mengakses ….. dengan “menjebol” sistem pengaman. Untuk memperkuat pendapat saya ini diperlukan ahli teletemstika untuk menerangkannya di muka penyidik dan di muka hakim. Perbuatan seperti itu berakibat kerugian bagi orang lain. Mengenai kerugian orang lain
merupakan unsur yang harus ditambahkan pada delik ITE yang dirumuskan dalam Pasal 30 Ayat (3). Unsur kerugian ini terdapat dalam Pasal 36. Semua delik yang dirumuskan dalam Pasal 27 sampai 34 tersebut, baru dapat menjadi tindak pidana ITE bila terdapat unsur kerugian orang lain dalam Pasal 36 ini.

Tindak pidana ITE dalam Pasal 27 s/d Pasal 34 jelas adalah merupakan tindak pidana materiil. Timbulnya akibat merupakan syarat satu-satunya penyelesaian delik. Membuat rumusan tindak pidana dalam UU ITE memang cara yang tidak lazim. Suatu tindak pidana tertentu harus memuat unsur-unsur yang dicantumkan dan menjadi kumulatif dalam tiga pasal. Membuat rumusan yang mbulet? Tidak mudah orang memahaminya, harus merangkai sendiri unsur-unsur dari dan dimuat dalam tiga pasal. Saya tidak suka dengan cara perumusan yang demikian. Tentu masih banyak cara dalam merumuskan suatu tindak pidana agar tidak mbulet, kan.

2. Pasal 33 jo 36 jo 49:
Pasal 33 jo 36 merumuskan “… dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya, yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”.

Semata-mata terpenuhinya unsur Pasal 33 belum cukup menjadi tindak pidana ITE harus ditambah pula unsur kerugian bagi orang lain yang dirumuskan dalam pasal 36. Persepsi saya, dengan perbuatan yang belum kita ketahui secara pasti bagaiaman bentuk dan caranya yang dilakukan pembobol yang berakibat uang dalam mesin ATM dikeluarkan/dikuras (dengan melawan hukum) sehingga sampai dikuasai pembobol, dapat
disamakan/dikualifikasikan seagai perbuatan yang mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Sebab jika sistem elektronik tidak dijadikan pembobol menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya, maka tidak mungkin uang dapat dikeluarkan dari mesin ATM.

Diantara 2 macam tindak pidana ITE tersebut, yang manakah yang paling dekat dengan peristiwa pembobolan rekening melalui ATM tersebut? Menurut saya dua-duanya dapat diterapkan, fifty-fifty lah sama-sama kuat.

Hambatan umum dalam pekerjaan menganalisis delik-2 dalam ITE adalah rumusannya tidak jelas, dapat menimbulkan multi tafsir, disamping tidak semua ahli hukum, polisi, jaksa dan hakim memahami benar tentang unsur-unsur atau kata atau istilah teknologi informasi degital yang digunakan UU tersebut, meskipun sebagian istilah diberikan pengertian otentiknya/yuridisnya, misalnya sistem elektornik, dokumen elektronik,
dll. Toh keterangan mengenai pengertian tersebut mencantukan pula istilah-istilah yang tidak mudah dipahami oleh semua orang. Oleh karena itu rasanya ahli telematika dan forensik digital (seperti Ruby Alamsyah anggota HTCIA (High Technology Crime Investigation Association) yang dapat dijadikan sample) mutlak diperlukan dalam
setiap mengungkap kasus-kasus cyber crime dan techno crime semacam ini. Namun menurut analisis saya (sementara) cukup alasannya untuk menyangkakan/mendakwakan dua bentuk kejahatan ITE tersebut sekaligus. Saya sangat menyayangkan tindakan seseorang yang menyebut tindakan Ruby tersebut sebagai tindakan "menyesatkan" dengan membeberkan modus skimming pada ATM tersebut. Saya berani bertaruh atas kredibilitas
pribadi saya bahwa orang mempunyai pikiran macam itu adalah orang yang justru tidak memiliki background IT dan hukum, melainkan hanya pandai bersilat lidah komunikasi masal atas sebuah permasalahan, atau setidaknya hanya mencari sensasi. Saya mengenal sepak terjang Ruby jauh sebelum kasus ATM, lebih tepatnya sebelum kasus Prita menjadi
booming kita bersama-sama menganalisa mulai dari barang bukti email Prita hingga masuk proses pembuktian, bukan maksud membela, tapi track record beliau saya sudah ketahui bagaimana, berbeda dengan orang yang "menuduh" Ruby mengajarkan teknik "maling" tersebut yang hanya sekedar hoby IT.

Kembali pada hukum positif, persoalannya, dari 3 (tiga) macam tindak pidana, ialah Pasal 362 KUHP, Pasal Pasal 30 Ayat (3) jo 36 jo 46 Ayat (3) dan Pasal 33 jo 36 jo 49, yang menurut saya dapat diterapkan, bagaimana cara menerapkannya??.

Untuk hal penerapan pidananya harus melihat penerapan pidana pada perbarengan. Diantara 3 bentuk perbarengan, mengenai tiga macam tindak pidana ITE pada kasus pembobolan tersebut dapat dikategorikan masuk ke dalam bentuk perbarengan peraturan (concursus idialis) menurut Pasal 63 KUHP. Pemidanaan dalam hal perbarengan peraturan yang sesuai dengan kasus ini ialah menerapkan Pasal 63 Ayat (1) yakni mengunakan sistem hisapan (asorbsi stelsel). Dalam Pasal 63 Ayat (1) ada dua macam
sistem absorbsi. Petama, jika beberapa tindak pidana yang timbul dari satu perbuatan itu, diancam dengan pidana yang sama berat, maka dijatuhkan salah satu pidana dinatara beberapa aturan (rumusan delik) pidana tersebut. Hakim bebas memilihnya berdasakan pertimbangannya sendiri mana yang terdekat. Kedua, jika beberapa tindak pidana yang timbul dari satu perbuatan itu diancam dengan pidana yang berat
ringannya tidak sama, maka dijatuhkan pidana menurut aturan pidana (rumusan delik) yang diancam pidana yang paling berat.

Nah, diantara 3 macam tindak pidana tadi yang terberat ancaman pidananya adalah Pasal 33 jo 36 jo49, yaitu 10 tahun. Maka hakim harus menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 33 jo 36 jo 49.

Kini bentuk surat dakwaan apa/bagaimana yang harus dibuat jaksa? Dalam setiap beberapa tindak pidana bentuk perbarengan baik perbeangan peraturan (Pasal 63 KUHP) maupun perbarengan perbuatan (Pasal 65 maupun 66), maka JPU harus membuat surat dakwaan bentuk kumulatif. Pembuktiannya memang lebih ruwet dan sulit, karena wajib membuktikan kesemua tindak pidana yang didakwakan. Namun tuntutan pidana haruslah
menggunakan sistem hisapan yang ditentukan dalam Pasal 63 tersebut.

Link: 
http://mygoder.wordpress.com/2010/01/25/hukum-konvesional-dalam-pembobolan-atm-bca

Silahkan jika ada yang ingin berdiskusi masalah ini, demi pembelajaran 
bersama

-- 
Best Regards,
Blog: http://mygoder.wordpress.com
Twitter: http://twitter.com/fakirbenwit

*cinta ditolak, firewall digasak!!!*

No comments:

Post a Comment